Thursday, November 10, 2011

Paradigma Pendidikan

Sekedar copas dari website PPSDMS, menginspirasi banget

Paradigma Pendidikan di Negeri Ini
October 5, 2011 By herry
Nurulhuda Halim
Oleh: Nurulhuda Halim

Jika kita membahas pendidikan, tentu kita ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua negara tersebut.

Ada sebuah ungkapan menarik tentang lingkup pendidikan, ”knowledge is power, but character is more”. Inilah yang telah diterapkan di banyak negara maju. Sebagai contoh, untuk sebuah pelajaran seni, Amerika memberikan penilaian yang bersifat afektif yakni good, excellent dan perfect. Mengapa demikian? Itu disebabkan ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada sang murid, yakni menghargai perbedaan persepsi, kreativitas dan kebebasan berekspresi. Lain halnya dengan di negeri ini yang lebih senang menggunakan angka dengan rentang antara 0-100 saat memberikan penilaian. Akibatnya, jika anda meminta satu kelas siswa sekolah untuk menggambar, maka setengahnya akan menggambar dua buah gunung yang mengapit matahari di tengahnya, dan ditambah laut atau sawah. Tidak heran, karena mindset mereka adalah guru mereka akan memberi nilai dari bagusnya gambar, bukan dari kreasi atau inovasi yang bisa mereka hasilkan.

Contoh lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter silahkan mengambil pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia akan diarahkan menjadi engineer, sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan Akuntansi.

Dengan menerapkan sistem pendidikan semacam ini, siswa di Selandia Baru akan belajar sesuai minatnya, dan hasilnya negara kecil ini bisa menjadi penghasil susu dan makanan terbaik di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Siswa SMA di sini “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.

Sebagai perbandingan lain, siswa SMA di Amerika mempelajari teori integral dengan sederhana lalu dilanjutkan dengan pemahaman aplikatif dan studi kasus. Berbeda dengan disini dimana hampir semua teori kalkulus universitas diberikan dan walhasil mereka bisa menyelesaikan berbagai jenis tipe soal namun tidak mengerti bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut selain agar nilai mereka diatas 80.

Dari kasus diatas, dapat kita simpulkan bahwa kesalahan pendidikan di indonesia terletak pada paradigma terhadap pendidikan itu sendiri, terutama oleh pemerintah. Hal ini tercermin pada beberapa hal. Pertama, hampir semua proses pendidikan hanya dinilai oleh angka dan indikator lain yang tidak mampu memandang perkembangan peserta didik. Kedua, proses pendidikan hanya berupa perpindahan materi buku ke otak siswa secara kognitif tanpa memahami esensi dan makna filosofis ilmu tersebut. Selanjutnya, pembentukan pola pikir tetapi melupakan pembangunan karakter dan penanaman nilai sehingga banyak sekali koruptor cerdas di negeri ini. Ketiga, sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak bangsa ini.

Di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di neger ini serta turunan masalahnya. Tidak lain hal ini bertujuan agar nasib bangsa ini lebih baik dan bermartabat.

Oleh: Nurulhuda Halim (Mahasiswa Teknik Metalurgi FTTM ITB 2009)

0 comments:

Post a Comment