Thursday, November 10, 2011

Paradigma Pendidikan

Sekedar copas dari website PPSDMS, menginspirasi banget

Paradigma Pendidikan di Negeri Ini
October 5, 2011 By herry
Nurulhuda Halim
Oleh: Nurulhuda Halim

Jika kita membahas pendidikan, tentu kita ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua negara tersebut.

Ada sebuah ungkapan menarik tentang lingkup pendidikan, ”knowledge is power, but character is more”. Inilah yang telah diterapkan di banyak negara maju. Sebagai contoh, untuk sebuah pelajaran seni, Amerika memberikan penilaian yang bersifat afektif yakni good, excellent dan perfect. Mengapa demikian? Itu disebabkan ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada sang murid, yakni menghargai perbedaan persepsi, kreativitas dan kebebasan berekspresi. Lain halnya dengan di negeri ini yang lebih senang menggunakan angka dengan rentang antara 0-100 saat memberikan penilaian. Akibatnya, jika anda meminta satu kelas siswa sekolah untuk menggambar, maka setengahnya akan menggambar dua buah gunung yang mengapit matahari di tengahnya, dan ditambah laut atau sawah. Tidak heran, karena mindset mereka adalah guru mereka akan memberi nilai dari bagusnya gambar, bukan dari kreasi atau inovasi yang bisa mereka hasilkan.

Contoh lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter silahkan mengambil pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia akan diarahkan menjadi engineer, sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan Akuntansi.

Dengan menerapkan sistem pendidikan semacam ini, siswa di Selandia Baru akan belajar sesuai minatnya, dan hasilnya negara kecil ini bisa menjadi penghasil susu dan makanan terbaik di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Siswa SMA di sini “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.

Sebagai perbandingan lain, siswa SMA di Amerika mempelajari teori integral dengan sederhana lalu dilanjutkan dengan pemahaman aplikatif dan studi kasus. Berbeda dengan disini dimana hampir semua teori kalkulus universitas diberikan dan walhasil mereka bisa menyelesaikan berbagai jenis tipe soal namun tidak mengerti bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut selain agar nilai mereka diatas 80.

Dari kasus diatas, dapat kita simpulkan bahwa kesalahan pendidikan di indonesia terletak pada paradigma terhadap pendidikan itu sendiri, terutama oleh pemerintah. Hal ini tercermin pada beberapa hal. Pertama, hampir semua proses pendidikan hanya dinilai oleh angka dan indikator lain yang tidak mampu memandang perkembangan peserta didik. Kedua, proses pendidikan hanya berupa perpindahan materi buku ke otak siswa secara kognitif tanpa memahami esensi dan makna filosofis ilmu tersebut. Selanjutnya, pembentukan pola pikir tetapi melupakan pembangunan karakter dan penanaman nilai sehingga banyak sekali koruptor cerdas di negeri ini. Ketiga, sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak bangsa ini.

Di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di neger ini serta turunan masalahnya. Tidak lain hal ini bertujuan agar nasib bangsa ini lebih baik dan bermartabat.

Oleh: Nurulhuda Halim (Mahasiswa Teknik Metalurgi FTTM ITB 2009)

Thursday, August 4, 2011

Cuti sementara

Wassup! Sori nih cuy, kayaknya gw bakal cuti sementara dari mengupdate post (Ah, bo'ong kan lo? Gak, bener. Karena mulai banyak acara, dan quota internetan gw udah mau abis)

Harap sabar aja, insya Allah gak lama kok cutinya.

Doakan semoga gw bisa berbagi lagi tentang hal-hal lain ya !

Benarkah Semakin Berat, Semakin Hebat?

Tulisan Rhenald Kasali di koran Sindo, 14 Juli 2011

Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.

Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?

Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".

Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.

Ubah Cara Pandang

Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.

Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh, dan kesehatan jiwanya.

Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang, dan waktu agar ia tumbuh . Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya, "beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"

Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.

Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.

Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.

Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?

Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412716/44/

Si Penunggang Kuda dan Ular

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “penolakan” dari orang yang arif adalah lebih berharga daripada, “dukungan” si bodoh.

Aku, Salim Abdali, bersaksi bahwa hal itu benar dalam jangkauan pengalaman yang lebih agung, juga benar dalam taraf pengalaman yang lebih rendah.

Hal ini terwujud dalam kebiasaan Sang Bijak, yang telah menurunkan kisah Si Penunggang Kuda dan Ular.

Seorang Penunggang kuda, dari suatu tempat yang aman, melihat ada seekor ular menyusup ke dalam tenggorokan seseorang lagi tidur. Penunggang kuda itu menyadari bahwa apabila orang itu dibiarkannya terus tidur, tentulah racun ular tersebut akan mematikannya

Oleh karena itu ia mencambuk Si Tidur sampai terbangun. Karena mendesaknya waktu, ia pun memaksa orang itu pergi ketempat yang terdapat sejumlah buah apel yang busuk, dan memaksanya memakan buah-buah busuk itu. Setelah itu, Si Penunggang Kuda, memaksanya minum air sungai sebanyak-banyaknya.

Selama itu, orang tersebut selalu berusaha melepaskan diri, tangisnya, “Apa dosaku, hai kemanusiaan, sehingga aku kau siksa begini kejam?”

Akhirnya, ketika ia hampir lemas, dan sore hari tiba, lelaki itu jatuh ke tanah dan memuntahkan buah apel, air, dan ular tadi. Ketika diketahuinya apa yang telah dimuntahkannya, ia memahami apa yang telah terjadi, dan mohon maaf kepada Si Penunggang Kuda.

Ini syaratnya. Dalam membaca kisah ini, jangan mengelirukan sejarah untuk ibarat, atau ibarat untuk sejarah. Mereka yang dianugerahi pengetahuan memiliki kewajiban. Mereka yang tidak berpengetahuan, tidak memiliki apapun di balik apa yang bisa mereka terka-terka.

Orang yang di tolong itu mengatakan, “Kalau tadi kau mengatakan hal itu, tentu saya terima perlakuanmu itu dengan rasa terima kasih.”

Si Penunggang Kuda menjawab, “Kalau tadi kukatakan hal itu, tentu kau tidak percaya Atau kau menjadi kejang ketakutan. Atau kau lari pontang-panting. Atau malah tidur lagi.”

Sambil memacu kudanya, orang yang diliputi rahasia itu segera berlalu.

Catatan

Salim Abdali (1700-1765) menyebabkan para Sufi menerima caci-maki dari pada cerdik-cendekia yang sebelumnya tak pernah terjadi karena pernyataannya bahwa seorang Sufi ulung bisa mengetahui ketidakberesan seseorang, dan mungkin harus bertindak cepat dan dengan cara yang tampaknya bertentangan dengan seharusnya dilakukan untuk menolong orang itu, dan oleh karenanya bisa menimbulkan kemarahan orang-orang yang sebenarnya tidak mengetahui apa yang ia lakukan .

Kisah ini dikutip oleh Abdali dari Rumi. Bahkan kini, mungkin tidak banyak orang mau menerima pernyataan yang tersirat dalam kisah ini. Namun, pernyataan semacam itu telah diterima oleh semua Sufi, dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam komentarnya terhadap hal ini, guru Sufi Haidar Gul hanya mengatakan, ada batas tertentu, yang apabila dilanggar menyebabkan keburukan bagi manusia, yakni menyembunyikan kebenaran hanya agar tidak menyinggung perasaan mereka yang dipikirannya tertutup.”

————————————————————

K I S A H – K I S A H S U F I

Kumpulan kisah nasehat para guru sufi

selama seribu tahun yang lampau

oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)

Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984


sumber: http://ruangmakna.wordpress.com/2011/07/27/si-penunggang-kuda-dan-ular/

Tuesday, August 2, 2011

Kisah Sahabat Nabi: Ja’far bin Abu Thalib, Si Burung Surga

REPUBLIKA.CO.ID, Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat mendakwahkan Islam di daerah itu.

Dalam Perang Muktah, ia diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip dengan Nabi SAW di antara mereka berlima.

Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam.

Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa.

Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.

Ja'far pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.

Ja’far bin Abu Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.

Pada tahun ke-7 Hijriyah, kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?"

Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka."

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.

Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.

Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.

Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"

Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya."

Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya."


Redaktur: cr01
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah/Ahlul Hadist

STMIK AMIKOM

Monday, August 1, 2011

Tidak percaya pada pemerintah, warga Jepang mengecek sendiri tingkat radiasi di wilayahnya


IWAKI, Jepang - Kiyoko Okoshi memiliki tujuan sederhana ketika dia menghabiskan uang sekitar $ 625 untuk sebuah dosimeter: ia merindukan putri dan cucunya dan ingin mereka pulang.

Pejabat lokal terus mengatakan bahwa desa terpencil mereka aman, meskipun itu kurang dari 20 mil dari pembangkit listrik Fukushima Daiichi lumpuh nuklir. Tapi putrinya tetap meragukan, terutama karena tidak ada orang yang datang dari pemerintah, yang telah mengecek tingkat radiasi dekat rumah mereka.

Jadi mulai bulan April, Nyonya Okoshi mulai menggunakan dosimeter untuk mengecek jalan hutan terdekat dan sawah. Apa yang dia temukan sangat mengejutkan.

Dekat salah satu selokan kotor, meteran tersebut berbunyi liar, dan layar memperlihatkan angka 67 microsieverts per jam, tingkatan radiasi yang berpotensi bahaya. Nyonya Okoshi dan sepupu yang tinggal di dekatnya memberanikan diri untuk meng-komplain para pejabat terpilih, yang ternyata tidak menanggapi komplain tersebut, membenarkan kekhawatiran mereka bahwa pemerintah tidak melakukan tugasnya.

Dengan tindakannya yang sederhana namun berani, Nyonya Okoshi bergabung dengan sejumlah kecil orang dari Jepang yang telah memutuskan untuk turut serta mengecek tingkat radiasi sehubungan dengan reaksi pemerintah terhadap kontaminasi yang bertambah, yang diakui para pemimpin jauh lebih buruk dari awalnya diumumkan. Beberapa ibu ditempat jauh seperti Tokyo, 150 kilometer di sebelah selatan pabrik, telah mulai menguji tingkat bahan radioaktif. Dan ketika para ahli radiasi mengadakan sebuah seminar di Tokyo tentang cara menggunakan dosimeter, lebih dari 250 orang muncul, memaksa penyelenggara untuk membuat beberapa orang pergi.

Bahkan beberapa birokrat telah mengambil inisiatif: pejabat di beberapa kota di Fukushima Prefektur membersihkan tanah di halaman sekolah tanpa bantuan dari pemerintah pusat, dan seorang ahli radiasi dengan Departemen Kesehatan yang berhenti dari pekerjaannya atas respon yang lambat dari bos nya untuk kecelakaan nuklir membantu para pemimpin kota di Fukushima melakukan pemantauan sendiri.

"Mereka tidak merusuh di jalan dan mereka tidak melakukan demonstrasi, namun mereka juga tidak hanya duduk diam." kata Gerald Curtis, Profesor Ilmu Politik di Columbia University dan ahli tentang Jepang. "Masalah dosimeter ini mengungkapkan bahwa orang-orang bertambah takut tentang bahaya radiasi."

Ketidakpercayaan masyarakat, pada awalnya hanya pada anggota birokrat dan anggota parlemen di Tokyo, namun sekarang termasuk gubernur, walikota dan dewan kota juga tidak dipercayai. Kepercayaan yang juga mungkin sulit untuk dikembalikan, karena di bawah tekanan dari warga-warga yang bersangkutan, birokrat di Tokyo telah memperluas pemantauan mereka, tetapi banyak orang yang meragukan bahwa standar pemerintah yang aman atau bahwa para pejabat melakukan pekerjaan yang cukup menyeluruh pada saat pengujian.

Penemuan terbaru tentang daging sapi radioaktif yang berhasil masuk ke toko membuat warga sekarang mudah curiga.

"Kita perlu melakukan penelitian yang ketat untuk membuat orang merasa yakin," kata Keiichi Miho, walikota Nihonmatsu, sebuah kota dari 60.000 orang barat pabrik Daiichi. Walikota tersebut adalah salah satu dari pejabat-pejabat lokal yang telah mengatasi masalah secara langsung, menghabiskan jutaan dolar pada langkah-langkah seperti membuat peta radiasi terhadap kotanya. "Itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kredibilitas."

Nyonya Okoshi, orang yang telah menjadi petani seumur hidupnya, hidup dengan ibunya yang berumur
85 tahun, dan salah satu putrinya menolak hidup di kota-kota yang sangat menarik bagi kebanyakan penduduk Jepang, tapi malah memilih untuk hidup di bawah atap yang sama dengan ibu dan neneknya.

posting selengkapnya bisa dibaca di http://www.nytimes.com/2011/08/01/world/asia/01radiation.html?_r=3&smid=tw-nytimes&seid=auto

Sunday, July 31, 2011

Marhaban ya Ramadhan

Ramadhan! Ada puasa, sahur, buka, tarawih, witir, lailatul qadr, pahala, ampunan, ketupat, opor, liburan. #ganyambung

Seneng banget sih lo? #sirik. Iya, doain aja agar insya Allah gw agar termasuk orang yang senang menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan suka cita, seperti dalam Hadits Nabi Muhammad Rasulullah SAW, "Man Fariha Bidukhuuli Ramadhaan Hurrima Jasadahu 'Alaan Niiraan" yang artinya "Barang Siapa yang senang atas kedatangan Bulan Ramadhan maka jasadnya haram masuk neraka".

Banyak pikiran yang tersirat, banyak kata yang terucap, banyak perbuatan yang terlaksana, banyak salah yang terbuat dari hal-hal tersebut.

Menyambut datangnya bulan Ramadhan, gw sebagai manusia biasa memohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan yang telah gw lakukan maupun yang akan gw lakukan. Semoga Allah berkenan untuk mengampuni dan menghapuskan dosa kita. Amin.

Perbedaan optimis dan sombong

Pernahkah sobat merasa kenapa ketika kita punya keinginan yang besar dan sangat optimis bahwa kita dapat mencapainya, ternyata malah hasilnya tidak terlalu baik? tetapi kenapa kalau tidak optimis atau tidak dikejar, maka sesuatu itu malah hasilnya baik???

Sobat, tahukah perbedaan antara optimis dan sombong?

Menurut Guntur Novizal, optimis dan sombong sama-sama mengatakan sesuatu yang besar, perbedaanya terletak pada sejauh mana seseorang mengenal potensi dirinya sendiri. Dan hal ini juga akan kelihatan ketika seseorang mengatakannya, orang yang optimis akan mengatakan dengan bijak, sementara yang sombong akan terkesan arogan ketika mengatakan.

Lalu, bagaimana hubungan ambisi dengan cita-cita dan tujuan kita, apakah hal itu baik atau tidak?

Ambisi merupakan kehendak yang kuat untuk mencapai tujuan, dan ini bisa dijadikan nafas untuk mencapai tujuan kita. Ambisi merupakan sesuatu yang baik bahkan memang ambisi mutlak dimiliki oleh seseorang yang punya tujuan. Karena dengan ambisi (kehendak kuat) maka akan menuntun seseorang untuk melakukan tindakan yang akan mengarahkan pada pencapaian tujuan. Ambisi akan sangat bagus jika didasarkan pada optimisme (keyakinan kuat) untuk mencapai tujuan yang didasari atas pengenalan diri.

Yang bahaya adalah ketika ambisi bersanding dengan sombong, yaitu ambisi (kehendak kuat) untuk mencapai sesuatu yang didasari tetapi didasari oleh kesombongan (tidak mengenal diri), maka hal ini akan mengakibatkan seseorang melakukan sesuatu dengan segala cara untuk mencapainya. Tidak jarang kita banyak menemukan seseorang yang membabi buta dengan ambisinya, karena banyak diantara kita yang tidak mengenal diri kita sendiri. Sehingga dari banyak fenomena itu tidak jarang kita tabu untuk mengatakan kalau kita punya ambisi besar untuk mendapatkan sesuatu.

Saya ingin mengajak sobat untuk mencermati ayat berikut.

Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri“. (QS.An Naml:30-31)

Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri, sehingga tidak ada seorang pun menganiaya orang lain dan tidak ada yang bersikap sombong terhadap orang lain.” (HR.Riwayat Muslim)

Dari ayat dan hadits di atas, ada satu kata yang mengikuti kata sombong, yaitu terhadap… Berarti, kata sombong bersifat komparatif, yaitu membandingkan dengan orang (makhluk) lainnya. Artinya kesombongan bermakna dalam hal merasa lebih tinggi, lebih baik, atau lebih lainnya dengan orang atau makhluk lainnya, merasa lebih hebat daripada orang lain.

Jika sombong lebih kepada membandingkan dengan orang lain, maka optimis justru sebaliknya. Optimis lebih berfokus pada kesamaan antara manusia. Orang akan optimis jika dia merasa sama dengan orang lain. Merasa memiliki perbedaan, justru akan menimbulkan sikap negatif. Merasa lebih rendah disebut rendah diri. Sementara orang yang merasa lebih baik disebut sombong.

Saat kita merasa bahwa kita memiliki kesamaan dengan orang lain, maka kita pun bisa mendapatkan atau memiliki kehebatan seperti orang-orang hebat, karena tidak ada bedanya. Begitu juga, jika kita melihat orang lain yang tidak sehebat kita, maka kita akan paham dengan dua kemungkinan. Pertama orang tersebut bisa lebih hebat di bidang lain. Kedua orang tersebut hanya belum menampilkan diri dia apa adanya.

Percaya diri fokus pada keyakinan akan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, kepada dirinya dan juga sama kepada orang lain. Bukti kehebatan potensi yang diberikan Allah bisa dilihat dari orang lain yang mampu mencapai pencapaian hebat, sementara potensinya sama dengan kita.

Jadi, mari kita intospeksi diri?apakah kita sombong atau optimis?

28 May 2011, terinspirasi dari nasihat dosbing tercinta, Bpk. Agus Setiawan:)

Tambahan (kalo ga dibaca juga gapapa) :

Rendah Diri

Rendah diri ada yang positif dan ada yang negatif.

Rendah diri dihadapan Allah adalah rendah diri yang positif, sementara rendah diri di hadapan manusia adalah perbuatan tercela, karena sebenarnya sama. Tidak ada makhluq yang lebih mulia di sisi Allah, kecuali karena ketaqwaanya. Artinya manusia itu sama, sehingga yang menentukan nanti di akhirat hanyalah ketaqwaanya. Bukan pangkat, pendidikan, jabatan, dan harta kekayaan. Kita tidak perlu merasa rendah diri di hadapan siapa pun, kecuali di hadapan Allah.

Justru, jika kita yakin bahwa kita sama dengan orang lain, akan muncul suatu sikap percaya diri. Jika orang lain bisa melakukan hal yang luar biasa, maka Anda pun bisa melakukannya. Teknologi NLP sudah banyak menunjukan bahwa kita bisa melakukan apa pun yang kita ingin lakukan. Apa lagi jika sudah ada orang lain yang pernah melakukannya. Yang seringkali menghambat kita untuk melakukan hal yang sama dengan orang lain, karena justru pikiran kita sendiri. Atau apa yang kita lakukan, belum sama dengan orang lain.

Intinya, kepercayaan diri menganut prinsip kesamaan antara kita dengan orang lain. Allah menciptakan manusia sama dengan segala potensinya. Jika kita seolah tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain, sesungguhnya karena kita belum tahu caranya secara akurat. Mungkin kita baru melakukannya sebagian. Namun disayangkan, kita sering terburu-buru mengubur potensi diri kita sendiri.

Saat ada orang lain yang memiliki cita-cita tinggi. Bahkan jauh lebih tinggi dibanding keyakinan kita. Anda tidak perlu menyebutnya sombong. Anda sendiri bisa memiliki cita-cita dan kemampuan untuk meraihnya seperti orang lain. Yang Anda perlukan ialah bagaimana memompa pikiran Anda agar memiliki keyakinan yang sama dengan orang tersebut. Jadi, sebelum mengatakan orang lain sombong, mungkin kitanya yang rendah diri.

Rendah Hati

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Orang percaya diri justru akan rendah hati. Karena kepercayaan dirinya dia tidak perlu menyebut-nyebut kelebihannya, dia tidak perlu mendapatkan pengakuan orang lain, dan dia tidak khawatir saat orang lain terihat lebih baik. Dia tetap akan berbicara dan bertindak dengan cara rendah hati.

Rendah hati lebih kepada cara kita bersikap terhadap orang lain, bagaimana dia tidak merendahkan orang lain dan tidak ingin terihat lebih dibanding orang lain. Baik secara perkataan mapun tindakan. Dia tidak menonjolkan dirinya. Dia menghargai orang lain. Dia tidak ingin selalu dianggap hebat. Rendah hati justru salah satu ciri percaya diri.

Perbedaan secara definisi, sombong, ujub dan takabbur:

Sombong: sifat seseorang dimana ia hanya dengan dirinya tetapi tidak sampai meremehkan orang lain..

Ujub: sifat seseorang dimana ia merasa dirinya lebih baik hingga menolak kebaikan orang lain, bangga dan senang dengan dirinya, senang dengan yang diucapkannya, yang diperbuatnya hingga meremehkan orang lain.

Takabur: sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.

Perbedaannya jika dibandingkan:

Sombong adalah sifat seseorang dimana ia hanya dengan dirinya tetapi tidak sampai meremehkan orang lain sehingga bisa dibilang ujub lebih parah dari sombong, dan yang lebih parah adalah takabur karena diikuti dengan sikap merendahkan orang lain

sumber : http://nofitaistiana.wordpress.com/2011/05/28/bedakan-optimis-dan-sombong/

http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=188502637852504

http://www.facebook.com/pages/Tanjungpinang-Indonesia/Lentera-Hati-Motivation/111615748905514

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071125175916AAxmbZm

gatau tiba2 banyak ketemu aja halaman beginian

Bergabung dengan kehendak Allah semata, inilah tawakkal

Sering kali orang berambisi tanpa mengenal dirinya dan Rabbnya. Hanya dipenuhi oleh arogansi tanpa tawakkal dibumbui dengan alasan berani bermimpi.

Otomatis, gagallah ambisinya #pengalamanpribadi #STEI2010.

Mereka berkata, bahwa orang itu selain beriman juga harus bertawakkal.

Tawakkal, kata yang sangat sering diucapkan, namun kenyataannya sulit sekali dilaksanakan.

Ini adalah artikel yang mengubah hidup gw (Nggak juga sih, sebenernya gw berubah itu karena kehendak Allah SWT semata). Dari nol sampai mengenal diri sendiri dan pada akhirnya mengenal Rabb. Penasaran? Langsung baca aja.

'Tulisan Taufiq Ismail untuk Husni Djamaluddin,.


Tengah hari, Selasa 7 September 2004, sahabat kami Husni Djamaluddin muncul di Rumah Horison, Jalan Galur Sari II/54, Jakarta Timur. Koalisi penyakit di dalam tubuhnya telah menjadikan dia alumnus (paling kurang) lima hospital: Rumah Sakit Akademis, MMC, Persahabatan, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.


Pisau bedah telah menyayat-nyayat tubuhnya dua kali untuk menyingkirkan kanker di saluran pencernaannya dan meringkas sembilan meter ususnya. Dalam tiga tahun terakhir ini, penyair ini telah melompat-lompat antara hayat dan maut silih berganti dengan tangkas dan ritmis, menghindar jangan sampai tersentuh tali yang diayun-ayunkan ke kiri ke kanan ke atas ke bawah dalam permainan kehidupan ini, mondar-mandir Makassar-Jakarta-Makassar-Jakarta.


Husni kelihatan segar siang itu. Dia memperhatikan galeri foto sastrawan yang baru disusun rapi fotografer-wartawan Ed Zoelverdi di dinding ruang tamu Rumah Horison, dan melihat citra wajahnya dibingkai. Husni suka sekali fotonya yang diambil Ed itu.


Belum pernah saya melihat itu, katanya. Bagus sekali.


Ed memang memiliki kemampuan merekam karakter obyek pemotretannya. Himpunan lengkap empat kumpulan sajaknya, Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku?, Pustaka Jaya, telah terbit, mendahului peringatan ulang tahunnya ke 70 (10 November 2004). Dalam sisipan Kakilangit/Horison, edisi Agustus 2004, orang Mandar ini menjadi penyair tamu yang dibicarakan khusus sepanjang 13 halaman.


Saya tanyakan apakah undangan untuk besok peluncuran buku baru saya Katastrofi Mendunia —Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, 8 September pukul 14:00 di TIM sudah sampai? "Sudah," katanya, dan dia akan datang. (Karena salah baca, Husni datang malam harinya. Dia disambut galeri yang gelap, dan sejumlah karangan bunga yang masih dipajang di depannya).


Husni memiliki rasa humor yang tinggi. Dia memberi saya tiga helai kertas ketikan puisi barunya. Halaman pertama berbunyi begini:


Apa Kata Rakyat Tentang HPH Konglomerat
seluruh kawasan hutan ini kita yang punya
kecuali pohon-pohonnya.
Makassar, 17 Agustus 2004.


Sajak ini baru berumur 20 hari. Saya tertawa terbahak-bahak membacanya. Rasa jenaka yang kritis ini khas Husni, baik dalam sajak maupun dalam percakapan sehari-hari. Dia sering mengejutkan orang dengan metafor-metafornya. Sejenak saya lupa bahwa sahabat saya ini, alumnus lima hospital penting, dalam keadaan sakit. Istilah cuti, biasanya melekat pada pekerjaan. Bagi Husni, istilah ini merujuk pada rumah sakit.


Demikianlah, dia berkali-kali mendapat cuti rawatan rumah sakit, karena kegiatan kemasyarakatannya. Dalam memperjuangkan terbentuknya provinsi baru Sulawesi Barat, yang makan energi dan waktu banyak, ketika delegasi harus pergi ke DPR-RI, Husni sebagai penggagas dan aktivis yang masih terbaring di rumah sakit, tiba-tiba seperti hilang sakitnya, minta cuti untuk ikut berangkat berunding di DPR. Begitu pula ketika berlangsung acara Indonesia International Poetry Festival di Makassar (2002), saat dia harus dioperasi di Jakarta, Husni mendapat cuti, bangkit dari pembaringannya di rumah sakit.


Sebagai penyair senior paling dihormati di Indonesia Timur, kehormatan membuka acara dunia itu diserahkan kepadanya, dengan membaca tiga puisi yang akan dikenang lama sekali, yaitu "Namaku Toraja", sebuah puisi indah tentang Tana "Toraja", "Salib", mengenai Jesus yang turun ke Jerusalem kini dan kecewa melihat kondisi di dunia, dan "Tepi", puisi menghormati Mandela.


Baca puisi hebat itu dilakukannya di atas kursi roda. Hadirin gemuruh bertepuk tangan, termasuk penyair-penyair dari lima negara luar. Sehabis baca puisi pembukaan itu Husni langsung dilarikan ke bandara, terbang ke Jakarta untuk operasi keesokannya. Saya tidak tahu macam apa ketahanan badannya, menangkis rasa nyeri di tubuhnya itu.


Kini Husni, Ati dan saya makan siang bersama, Selasa 7 September itu. Husni bercerita bahwa dia sudah lepas dari semua kehendak pribadi. Dalam hidup, ujarnya, kita condong membuat daftar panjang kehendak, tapi banyak betul yang tak tercapai. Ternyata yang pasti tercapai adalah kehendak Allah. Karena itu, Husni memutuskan, dia bergabung dengan kehendak Allah saja. Dia tak lagi memikirkan dosa, tak lagi mengurus pahala. Husni menyerahkan semua itu bulat-bulat pada Allah semata. Saya tercenung mendengarkan Husni. Maqam sahabat saya ini sudah tinggi benar. Saya merasakan ucapannya tidak dibuat-buat, karena gelombang getaran kata-katanya masuk mulus tanpa gangguan ke dalam kalbu saya.


Selepas shalat asar di rumah adik iparnya, Azwan Hamir, suatu sore Februari yang lalu, Husni berdoa minta panjang umur. Tiba-tiba dia merasa luar biasa malu pada Allah. Sudah diberi usia (hampir) tujuh puluh tahun, kok masih minta panjang umur juga? Husni merasa sangat-sangat-sangat malu pada Sang Maha Pemberi dan Maha Pemurah itu. Karena keputusan bergabung dengan kehendak Allah itu, antara kehilangan dan mendapat, tak terasa lagi bedanya.


Di bulan Februari silam itu dua barang mahalnya, arloji Raymond Weil dan telepon genggam Nokia-nya hilang. Raib. Aneh, kata Husni. Dia tidak merasa rugi, tak risau apa pun. Minggu yang lalu, Agustus 2004, seorang kawannya yang kaya-raya (pemilik mobil balap Bentley seharga 10 milyar rupiah), mendengar Husni kehilangan arloji, memberinya ganti. Tidak tanggung-tanggung, dia dihadiahi arloji Vacheron Constantine, produk Jenewa, seharga $AS21.000. Dikonversi ke kepeng kita, setara Rp189 juta. "Saya tidak merasa jadi kaya," kata Husni.


Sekali lagi saya merasakan ucapannya polos tak berpura-pura, karena gelombang getaran kata-katanya masuk mulus tanpa gangguan ke dalam kalbu saya. Saya memeriksa arloji Jenewa itu dipergelangan tangan kiri Husni. "Cobalah pakai," kata Husni. Saya coba pakai. Seumur hidup baru kali itu saya menyentuh kronometer seharga tiga rumah itu.


Dalam menu makan siang di Rumah Horison waktu itu antara lain terhidang kari ayam. Husni terkejut. "Masya Allah," katanya. "Ada apa?" tanya Ati. Sejak dari rumah pagi tadi, dia ingin betul makan kari ayam, sehingga berencana mau mencarinya ke restoran. Eh, karena Allah menentukan menu siang itu di Horison kari ayam, dan Husni sudah berkoalisi dengan kehendak Allah, maka secara tepat kari ayamlah yang diperolehnya. Sebagai alumnus S-5, tamatan 5 hospital penting, zikrul-maut sudah basah di lidah dan bibir Husni. Wiridnya antara lain membaca shalawat Rasul 202 kali sehari.


Penyair yang pernah tiga kali bertemu Rasulullah Muhammad SAW di dalam mimpi sebelum shalat subuh ini (pengalaman rohani luar biasa hadiah bagi seorang Muslim, bahkan kiyai-kiyai pun belum tentu mengalaminya), sebulan yang lalu, 7 Agustus 2004 menulis puisi mengharukan tentang El-Maut berikut ini:


Ajal,
Sebelum Datang
Ajal sepertinya semakin mendekat
setelah dua tahun lewat
aku digerogoti kanker usus stadium empat
ajal adalah tamu yang tak mungkin kuhindari
tamu yang tak tahu basa-basi
dan tak kenal kompromi
ajal pelaksana eksekusi yang taat pada waktu
tak mau terburu-buru tapi tak pernah terlambat biar sesaat
ajal adakah pilihan lain
kecuali menunggumu di depan pintu
dengan sikap tawakkal
atas segala amal dan dosa-dosaku
ajal kau tahu apa yang paling kudambakan
menjelang detik-detik kedatanganmu
ampunan dari Tuhan doa dari keluarga
dan simpati dari teman-teman
ajal jemputlah kapan saja pada saatnya
toh kita bukan seteru kita adalah sekutu yang mestinya sudah kenal sejak dari awal
ajal sebelum kau datang
perkenankan aku bilang
selamat pagi matahari
selamat malam rembulan
aku cinta kehidupan
Makassar, 7 Agustus 2004


Puisi ini ditulis dalam lembar halaman 2 dan 3 kertas ketikan yang diberikannya kepada saya tadi. Di rumah saya merenungkan kedalaman makna zikrul maut yang digoreskan sahabat saya Husni Djamaluddin, yang cuma bisa ditulis penyair yang telah diping-pong intensitas pengalaman fisik dan batin, melintas net antara hayat dan maut.


Terima kasih Husni, terima kasih. Kapan saya akan sanggup mengikuti siraath Anda, bergabung dengan kehendak Allah semata?


Jakarta, 27 September 2004. Taufiq Ismail, penyair dan salah seorang pendiri majalah sastra Horison. (Sumber: Horison)


“Terkenang dengan kisah, perjuangan dan ghirahnya menyambut ajal. Sangat luar biasa. Terinspirasi untuk terus maju, maju dan maju!”


Wahai Pemilik nyawaku
Betapa lemah diriku ini
Berat ujian dariMu
Kupasrahkan semua padaMu


Tuhan…
Baru ku sadar
Indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur
Kini kuharapkan cintaMu


Tuhan…
Kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku denganMu


Kata-kata cinta terucap indah
Mengalun berdzikir di kidung doaku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah selama ini
Ya ilahi….
*Muhasabah cintaku…

*EdCoustic'


http://robiah.malhikdua.com/2009/04/26/bergabung-dengan-kehendak-allah-saja/

Sudah Shalat?


Kalo ditanya kok mulai nge-blog lagi? ngabisin waktu aja. Alasannya?
Haha sebenernya simpel, gw baca artikel ini :

Suatu ketika beberapa fuqaha (ahli hukum Islam) yang berasal dari kota Iskandariah mendatangi dan berjumpa dengan Syekh Abul Hasan

Syekh Abul Hasan menatap wajah mereka semua lalu bertanya : “Wahai para fuqaha apakah kalian sudah shalat?”

Dengan tegas mereka balik bertanya kepada Sang Syekh : “Apakah ada di antara kami yang tidak shalat?”

Lalu Syekh kembali bertanya sambil mengutip sebuah ayat Qur’an :
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang shalat,”
(QS al-Ma’arij [70] : 19 – 22)

“Apakah kalian seperti itu? Jika ditimpa musibah kalian gelisah dan jika mendapat kebaikan kalian kikir?!”

Mereka terdiam. Akhirnya Syekh berkata: “Kalau begitu kalian belum shalat!”
(Ibnu ‘Athaillah, Bahjat al-Nufus)

sumber : http://ruangmakna.wordpress.com

Artikel tersebut langsung menusuk gw 'jleb', begitu bunyinya, untung gak keluar darah #apaansih

Selama ini gw alhamdulillah merasa diberkahi banget dalam hidup, dapet banyak kejadian beserta hikmahnya, dapet banyak kebaikan dan juga kebahagiaan.

Kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada gw itu banyak banget, dan yang paling penting adalah iman.

Tapi gw orangnya kan tertutup, jadi jarang bagi-bagi sama oranglain #dasarpelit

Astagfirullah..

Makanya gw merasa berdosa dan insya Allah gw gak mau termasuk orang-orang yang nggak shalat.

Hehehe, makanya gw mulai nge-blog lagi. Biar gw bisa berbagi kebaikan yang gw dapet, entah itu berupa artikel yang telah gw baca dan gw praktekkan, entah itu kebahagiaan yang gw dapet, pokoknya segala hal yang menurut gw kebaikan.

Doain aja supaya insya Allah blog ini bertahan, dan doain semoga insya Allah gw termasuk orang yang diberkahi, orang yang shalat.

Amin ya Allahuma amin..

Saturday, July 30, 2011

Kenalan

Assalamu'alaykum..

Hmm, ini blog ke 5 yang gw buat. Hehe, gw rasa sih ini gak akan bertahan lama.
Tapi insya Allah bisa dipertahanin lah.

Ohya, disce cogitare itu bahasa latin, artinya belajar berpikir. Maaf, maksud gw adalah belajar untuk berpikir menggunakan akal #nahlo #bingung.

Pas masuk blog ini, ada nggak yang mikir kalo itu tangan diatas kebalik nulisnya? Kalo kalian udah berpikir begitu, berarti kalian lulus tes pertama. Bisa mikir pake akal. Tenang aja, yang gak mikir gitu lulus juga kok #lohkok karena bukan berarti gak bisa mikir tapi mungkin baru kepikiran sekarang. Gw aja yang punya blog baru mikir kalo itu tangan kebalik beberapa saat sebelom gw nulis post ini #hehe.

Maksud belajar berpikir menggunakan akal itu adalah insya Allah gw akan menyajikan beberapa fakta dan para pembaca bebas berpikir dengan akal mereka apa yang harus mereka lakukan dari fakta yang ada tersebut.


Kenalan dulu ya, nama gw Anindito Rahardyaksa, biasa dipanggil Dito.



Hmm, lalu...






Lalu...








Lalu... Apa lagi ?












Hmm, kata mereka, lo akan tahu seseorang dari perilakunya.

Jadi udahlah segitu aja kenalannya, salam kenal.