Saturday, March 16, 2019

Kalau, kalau, dan kalau

Gw teringat sewaktu gw memutuskan untuk keluar dari kampus gw yang lama (baca: ITS) untuk menjalani takdir gw yang sekarang telah gw lalui (baca: Ikut SNMPTN lagi).

Pada saat gw ngomong sama keluarga atas keputusan yang ingin gw ambil, kata inilah yang paling sering gw dengar. 'Kalau'. Kalau disana memang kenapa? Kalau disini apa bedanya? Kalau nanti gagal, kalau bayarnya mahal, kalau, kalau dan kalau.

Well, menurut gw wajar aja sih keluarga bertanya hal-hal seperti itu, karena hilangnya penanggung biaya utama gw untuk kuliah, berhubung ibunda gw baru meninggal beberapa bulan sebelum kejadian itu terjadi, dan wajar saja kalau keluarga cemas atas keputusan yang dibuat oleh seorang anak muda, yang pikirannya kebanyakan (baca: kebanyakan, bukan semua) masih belum matang.

Tapi toh gw berpikir begini (Jangan diikutin dirumah ya! Pemikiran ini hanya dilakukan oleh para profesional yang terlatih). Gw udah nggak punya apa-apa. Keluarga udah hilang, kebahagiaan udah hancur. Nggak ada lagi orang yang bisa gw percaya. Yang (alhamdulillah) masih ada di gw cuma iman. Mimpi dan pikiran yang idealis, sebentar lagi, sekitar 2-3 tahun lagi. mungkin akan hilang. #pesimis #galaumax

Karena gw berpikir : "Yah, seenggaknya usaha lah sebelum mimpi gw hilang. Kalo gagal juga tinggal nungguin mati kok, jadi apa salahnya? Daripada gw mati gak ada kenangan apa-apa. Gw hidup tapi berasa kayak orang mati. Cuma pura-pura hidup."

Alhamdulillah, Allah berada di pihak hambaNya yang satu ini. Pada saat itu, jujur gw agak takut ngelihat pengumuman. Kan gw liat pengumumannya dirumah temen gw, dan lagi banyak saudaranya. Dikit-dikit mereka nanya "Udah liat blom? Dapet nggak?". Mana Internetan lemot lagi. Gw yang tadinya udah tenang jadi nervous lagi.

Pas diliat punya temen gw : "Wooi, dia dapet hukum unpad!". Gw langsung berpikir "Dia yang pinter aja cuma dapet pilihan kedua. Gimana gw?".

Gw memutuskan untuk shalat Isya dulu. Selesai shalat, gw berpikir : "Ah, yaudahlah. Gak nyesel kok belajar buat SNMPTN. Gw belajar untuk Allah ini. Gw udah cukup seneng kok bisa belajar karena Allah. Gak peduli lagi deh dapet apa, terserah Allah aja atas hasilnya. Apakah gw bisa berkontribusi di dunia atau cuma jadi orang yang nungguin mati, terserah Allah."

Gw buka pengumumannya, masukkin nomor ujian gw. Tiba-tiba keluar huruf : "Selamat, anda diterima di jurusan..." Gw udah siap buat dicerca nih, sama keluarga, sama temen, sama siapa aja. Bodo amet. Abis ini gw mau main dota #loh #kalimatyanggakrelevan. Lanjutannya "I..", wah huruf depannya I ! Bukan M ! "Ilmu komputer". Ah boong lo. Eh nggak? Bener? Alhamdulillah deh #sujudsyukur.

Belakangan setelah masuk gue tahu, bahwa Ilmu Komputer pada waktu itu, adalah jurusan dengan tingkat penerimaan nomor 2 di UI. Dibawah FK UI. Beberapa teman gue yang masuk ilmu komputer biasanya turunan dari FK.

Alhamdulillah lagi, dalam mengajukan BOPB pun gw diberi kemudahan. Ada temen-temen yang ngedukung kesana kemari. Keringanan pertama, 12,2 juta. Gw ajuin lagi banding. Keringanan kedua, 6,7 juta dengan biaya tiap semester 1 juta. Alhamdulillah.

Walaupun begitu, gw nggak mau menyalahkan mereka yang mengkritik gw. Karena gw gak mau jadi orang yang disebut oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu orang rendah yang apabila terdidik mereka sombong, dan apabila kaya mereka menzhalimi orang lain. Gw menghargai pendapat orang, dan belom tentu gw aman dalam lingkungan yang baru ini.

Yang ingin gw katakan adalah semua orang takut akan kemungkinan, apalagi orang indonesia. Mungkin karena itu banyak yang mau jadi PNS. Padahal dunia ini tersusun oleh kemungkinan-kemungkinan, dan kita bisa termasuk dimanapun dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut. Padahal kalau dimanfaatkan, banyaknya kemungkinan itu bisa kita jadikan keuntungan. Yang penting adalah usaha, doa, tawakkal, kekuatan hanya milik Allah, hasil terserah pada Allah, jadi untuk apa kita resah memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi?

Lakukan apapun yang sekarang bisa kita lakukan. Lakukan sesuatu yang kita sukai, tanpa harus takut akan adanya kegagalan ataupun kesalahan. Memang kalau gagal, kenapa? Seenggaknya kita bisa menikmati proses dalam berusaha, jadi soal gagal atau tidak, tidak jadi masalah.

Friday, May 3, 2013

Ego


             Hari ini saya berdiskusi, tentang beberapa manusia yang memiliki ego tinggi. Ya, ego. Sesuatu yang lumrah berada dalam diri manusia dan bisa menjadi sesuatu yang diridhai Allah untuk manusia. Semenjak saya masuk UI, saya merasa banyak sekali manusia seperti ini, memiliki ego yang tinggi, ingin dimengerti, mementingkan haknya sendiri, tidak memikirkan hak orang lain. Beberapa orang seperti itu menjadi pemimpin di beberapa kepanitiaan atau lembaga, dan walhasil, mereka tidak begitu disukai orang-orang yang dipimpinnya, sehingga kerja para staffnya mandek alias tidak mau kerja dengan mereka karena sikap mereka.

             Sebenarnya apa sih yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu?

             Saya paham, karena saya pernah seperti itu. Waktu SMP dan SMA. Namun saya berhasil berubah dan membentuk karakter saya karena sewaktu SMA saya ikut berbagai macam organisasi, seperti ROHIS dan OSIS. Pembentukan karakter saya kurang lebih prosesnya begini : Ego saya yang sangat tinggi, yang hanya mengejar target agar acara terlaksana dengan sempurna, agar semua ambisi saya terpenuhi, itu lama kelamaan menghilang setelah saya sadar dengan cara tersebut tidak akan ada orang yang mau mengikuti saya, dan berganti dengan rasa tanggung jawab untuk memperlakukan orang-orang disekitar saya dengan baik :)

             Titik puncaknya ialah sewaktu ibu saya meninggal, dan saya kehilangan segalanya. Saya benar-benar merasa menyesal dan merasa bahwa mulai saat itu saya insyaAllah akan memperlakukan setiap orang dengan baik dan ramah, memikirkan perasaan tiap orang dan memperlakukan mereka seperti saya ingin diperlakukan, layaknya manusia. Keluarga adalah keluarga dan layak diperlakukan sebagai keluarga, teman adalah teman dan layak diperlakukan sebagai teman, keduanya sesuatu yang sangat penting, dan harus dihargai baik mereka membantu kita ataupun tidak, menguntungkan kita ataupun tidak. Merekalah yang mempengaruhi kita sehingga kita menjadi kita yang sekarang. Karena mereka semua manusia, dan layak diperlakukan sebagai manusia sebagaimana kita ingin diperlakukan sebagai manusia.

Tapi intinya ialah:

             Karena kita tidak tahu kapan kita, ataupun orang-orang terdekat kita akan menghilang, meninggalkan kita.

             Saya rasa, mungkin orang-orang dengan ego tinggi tersebut belum pernah merasakan hal-hal ini. Belum pernah merasakan kesulitan hidup setingkat ini, dan belum selesai mengembangkan kepribadian mereka dan memuaskan hasrat muda mereka (dalam pengalaman berorganisasi tentunya), dan belum berpengalaman dalam menghadapi situasi-situasi seperti mengurus acara dan organisasi non-profit, yang membutuhkan segala kelapangan dada dan kepemimpinan yang sangat tinggi. Belum pernah "ikut organisasi" sih di SMP/SMA nya sepertinya. Dan belum pernah mendapat pengalaman dalam keluarga yang begitu baik, mungkin banyak paksaan di dalam keluarganya.

             Namun, apa yang mereka butuhkan sebenarnya bukanlah cercaan ataupun ketidakpatuhan dari para staff mereka, tetapi seorang teman, yang selalu mengobservasi tiap mereka memberi instruksi, yang selalu mendukung dan memahami sifat mereka, dan yang selalu berani mengingatkan mereka apabila mereka berbuat salah. Dari situ mereka akan mudah mengambil pelajaran, dan itu akan memudahkan mereka untuk mengembangkan kepribadian mereka lebih cepat, sehingga mereka dapat bersikap lebih baik, demi masyarakat dan orang-orang yang dipimpinnya. Dan pada akhirnya mereka akan sadar alasan kenapa mereka harus bersikap baik dan rendah hati kepada setiap orang. Ya, karena kita tidak tahu kapan kita, ataupun orang-orang terdekat kita akan menghilang, meninggalkan kita.


Monday, September 10, 2012

Kembalikan hiburan untuk anak-anak !



Keren itu bukan berarti berlaku untuk semua kalangan.
Butuh waktu dan kedewasaan yang tepat agar bisa maksimal menikmati ke"keren"an sebuah mahakarya.*masih shock liat bocah2 koboy juni*r promoin The Raid tadi pagi. Apalagi saat salah seorang personilnya mengaku sudah menontonnya lebih dari sekali di bioskop. Secara tidak langsung memperlihatkan bobroknya sistem pengelolaan bioskop di Indonesia. Oi, jelas-jelas itu film ratingnya dewasa. Kok bisa bocah kecil lolos nonton??


Itulah tulisan di status fesbuk milik seorang teman saya pada tanggal 9 September 2012.


Harus diakui, jaman sekarang, sangat jarang sekali kita menemukan tayangan maupun hiburan yang pas untuk dinikmati anak-anak. Kalau kita nyalakan televisi kita dan tekan program apapun, pilihan yang ada hanya sinetron, berita, boyband/girlband, sinetron, acara-acara musik abg-abg alay hipster yang ngga jelas kontennya, sinetron, sinetron dan sinetron. Yah, kecuali beberapa stasiun TV seperti sp*** toon, mungkin gl**al dengan sponge b*b-nya dan sha*n the sheep. Selain itu, jaraang sekali. Bahkan, saya kaget ketika yang ada di stasiun TV indonesia, yang diperuntukkan untuk anak-anak kecil, ini malah acara-acara seperti Yan* masi* dibawah *mur. Anak-anak indonesia mau dijadiin apa?

Ok, tontonan kartun udah jarang, tapi bukannya masih ada yang lain? Apa lagi? Jaman dulu, walaupun bukan kartun, namun masih ada tayangan-tayangan yang menurut saya cukup 'edukatif' untuk anak-anak. Seperti power rang*rs, wir* sableng, ker* sakti, bo b* ho, apapun deh yang bercerita tentang seorang pahlawan dan sikap-sikap kepahlawanannya. Nggak sekedar itu, kita juga diajari cara bersikap, bermain dalam kehidupan sehari-hari, dan juga arti persahabatan, lewat Si Uny*l (buatan Indonesia). Sekarang? Bahkan yang namanya power rangers aja anak-anak pada nggak tahu.

Lagu gimana? Jaman saya, banyak lagu anak-anak yang terkenal, biasanya dinyanyikan oleh agnes monica, trio kwek kwek, joshua dan berbagai macam penyanyi cilik lainnya. Nah, penyanyi cilik jaman sekarang, di *dola C*lik nyanyinya gak jauh-jauh beda sama yang dinyanyiin orang-orang yang kemarin diputusin pacarnya. Mungkin kak set* udah pensiun kali ya, udah tua. Miris.

Bahkan film-film bioskop anak jaman sekarang sudah tidak ada lagi yang seperti Pet*alangan Sherina. Kartun pun, kebanyakan berasal dari barat.


Mungkin karena kurangnya hiburan untuk anak-anak itu, mereka mencoba mencari sesuatu lain yang bisa menghibur diri mereka dengan segala 'keterbatasan' yang ada. Akibatnya timbullah generasi dimana anak-anak sudah sms-an, BBM-an, galau, pacaran. Tidak terasa ruh anak-anak pada diri mereka.

Disini yang saya lihat adalah suatu kezaliman. Dimana hilangnya waktu untuk anak-anak untuk bermain. Dimana segala hiburan diperuntukkan untuk orang dewasa. Apakah rugi bila anda membuat hiburan untuk anak-anak? Atau mungkin apakah anak-anaknya yang tidak lagi mau dihibur dengan hiburan anak-anak? Apakah rugi untuk membudayakan anak-anak seperti layaknya anak-anak? Anak-anak jaman sekarang tidak diperlakukan seperti waktu mereka, para produser dan remaja, pada zamannya, masih kanak-kanak.

Jangan remehkan hiburan anak-anak. Melalui hiburan tersebut, kita membangun karakter bangsa. Berlebihan? Saya rasa tidak. Dalam hiburan-hiburan tersebut, kita menyisipkan segala nilai yang diperlukan untuk anak-anak tersebut di masa depannya untuk memimpin dan membangun negeri ini, agar mereka siap dalam menghadapi segala masalah yang ada. Kita mengimbau anak-anak agar terus bahagia, agar mereka memperhatikan orang-orang di sekitarnya, agar mereka adil dalam menjadi pemimpin, agar mereka terus berinovasi demi membangun masa depan.

Semua pesan itu, tersirat dalam kartun, film, atau tayangan anak-anak yang dulu kita tonton. Coba lihat pesan-pesan yang disampaikan di doraemon (inovasi), digimon (setia pada teman-teman), Si Unyil (kerakyatan, menyelesaikan masalah sekitar), Toy Story (hargai mainan, pesan untuk anak-anak). Keberhasilan yang kita capai hingga akhirnya kita bisa seperti ini, tidak terlepas dari segala tayangan yang kita tonton.

Saya mengimbau kepada stasiun-stasiun TV di Indonesia, Presiden Indonesia, atau siapapun yang peduli dan membaca tulisan ini. Kembalilah membangun budaya untuk anak-anak. Ajarkanlah mereka sifat-sifat terpuji. Bangun mereka dengan luapan emosi dan kegembiraan. Ajari mereka untuk menghargai sekitarnya. Salah satu caranya adalah dengan membangkitkan kembali budaya hiburan untuk anak-anak. Dengan cara membuat tayangan untuk anak-anak, film, kartun, lagu, game, atau apapun yang berkaitan dengan hiburan untuk anak-anak, melalui media, karena anak-anak pada dasarnya suka bermain dan suka hiburan.

Sisipkanlah, dalam hiburan-hiburan itu, sifat-sifat terpuji dan membangun bagi anak-anak. Setidaknya, pada waktu kecil, mereka bisa merasakan kegembiraan. Bisa merasakan kebebasan. Bisa merasakan saat-saat polos dimana mereka tidak memikirkan pengaruh dari rangsangan hormon seksual (baca : pacaran), tidak memikirkan uang, tidak memikirkan hutang, tidak memikirkan kekuasaan. Bebas.

Bahkan, setidaknya, ya setidaknya, masukkanlah lagu-lagu anak anak kedalam film film layar lebar indonesia, agar orang dewasa juga bisa mengingat lagu anak-anak dan kembali mengajarkan anak-anaknya lagu-lagu tersebut. Misalnya, lirik lagu "tik-tik-tik.. bunyi hujan.." dimasukkan kedalam film laskar pelangi. Atau bahkan dimasukkan kedalam film perahu kertas. Saya terinspirasi dengan beberapa anime jepang dan film-film barat, yang memasukkan lagu-lagu jaman dulu-nya, lagu anak-anak mereka, dengan aransemen sendiri, kedalam film film bertema serius. Kalau saja lagu anak-anak jaman dulu itu dimasukkan ke film-film bioskop di Indonesia, pasti momennya mengharukan dan masuk kedalam emosi pemirsa, karena ini lagu-lagu yang mengandung kenangan bagi pemirsa. Setelah nonton itu, seenggaknya seminggu lah mereka (yang telah menonton film tersebut) mengulang-ulang memutar lagu tersebut dirumah, mungkin anak-anaknya bisa dengar, dan bisa diajarkan.

Itu hanya sebagian kecil dari contoh bagaimana kita bisa kembali membudayakan anak-anak dengan budaya anak-anak. Masih banyak yang lainnya, yang saya yakin para produser, sutradara, animator, developer, atau para professional lainnya di bidang hiburan lebih tahu daripada saya. Saya hanya ingin mengajak supaya kita membahagiakan kembali anak-anak Indonesia, dengan hiburan yang berkualitas dan membangun karakter bangsa, agar tidak cuma komplain di masa depan, di masa ketika anak-anak tersebut telah menggantikan kita sebagai pemimpin, baik di tingkat daerah maupun nasional, dimana bila tanpa pembangunan karakter yang baik, anak-anak tersebut yang sudah bukan anak-anak lagi, akan dengan mudah terjerumus ke jalan yang salah. Dan, naudzubillah, bila hal itu terjadi, kehidupan di Indonesia akan semakin susah dan menderita. Dan kita hanya bisa menyalahkan.

Sunday, August 26, 2012

Minimarket dan Usaha Kecil di Indonesia

Hmm.. Lama rasanya saya tidak bersua disini.

Sore ini, di salah satu stasiun TV di Indonesia, ditayangkan suatu acara yang mengisahkan penderitaan pedagang-pedagang kecil yang terus diusik dengan menjamurnya mini market di Indonesia.

Salah satu pemilik toko kecil di sana (kalau tidak salah namanya Udin), merasa dirugikan karena dibangunnya mini market yang berjarak tidak jauh dari usahanya, sekitar 3 meter. Pendapatan Udin merosot seketika. Jelas saja karena usaha kecil Udin tidak akan berdaya melawan usaha sebesar minimarket itu, yang pengalaman, jaringan dan modal usahanya sudah besar. Ditambah lagi konsumen pasti akan lebih nyaman untuk belanja ke minimarket karena lebih bersih, ber-AC, dan barang-barangnya lebih lengkap.

Dalam acara tersebut disebutkan bahwa sekarang Udin sudah tidak berharap untuk mendapat untung lagi, sekedar balik modal saja sudah cukup, untuk menutup tokonya. Bisnis Udin pun sekarang harus digabung dengan bisnis pulsa untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarganya.

Menjamurnya mini market di Indonesia bukan hal baru, dapat dilihat di sekeliling rumah anda betapa banyak minimarket yang ada disana, tidak cuma satu namun biasanya sederetan jalan penuh dengan mini market.

Apakah hal tersebut diperbolehkan? Ternyata, se­suai Peraturan Bupati Serang Nomor 27/2006 tentang Waralaba Kemitraan, jarak minimarket dengan pasar tradisional seharusnya minimal 500 meter. Kalau jarak dengan usaha kecil dan menengah seingat saya minimal 3 kilo meter.

Perbup 27/2006 yang salah satunya mengatur jarak antara minimarket dengan pasar tradisional memang multitafsir. Alasannya, dalam Perbup itu ada pengecualian diperbolehkannya minimarket di dekat pasar asalkan pasar di zona perdagangan. Nah, definisi zona perdagangan itu apa? Apa dimana-mana termasuk zona perdagangan? Namun, zona perdagangan atau bukan, seharusnya pemilik minimarket sadar akan hal itu dan berhenti membangun karena akan merugikan UKM-UKM disekitarnya, apalagi kalau jaraknya cuma 3 meter.

Entahlah kalau di daerah lain, namun seharusnya ada peraturan yang bisa melindungi usaha kecil dari ancaman pihak yang memiliki modal dan jaringan besar seperti minimarket. Mungkin ada, namun penegakkannya tidak tegas sehingga kasus seperti ini kerap terjadi.

Jujur, miris sekali rasanya melihat UKM-UKM di Indonesia ditekan dengan cara seperti ini. Akibatnya, kreatifitas masyarakat akan berkurang, pendapatan masyarakat kecil akan terhambat, tidak menutup kemungkinan punahnya UKM di Indonesia ini, yang tersisa tinggal minimarket-minimarket saja.

Karena saya tinggal di Jakarta, saya ingin memberitahu yang terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta nanti, untuk mengatasi masalah ini. Peraturannya tidak harus rumit, seperti memberi jarak minimal antara minimarket dan UKM, dan penegakkannya harus tegas. 


Kalau bisa, bahkan membantu UKM yang ingin berkembang dengan cara memodalinya atau memberinya fasilitas seperti AC, membangun pasar untuk tempat jualan, dsb. Namun, kebijakan tersebut harus menguntungkan kedua belah pihak, baik minimarket maupun UKM, sehingga tidak ada pihak yang merasa paling dirugikan. Bukan hal yang salah untuk belanja di minimarket, namun harus ada pengaturan agar tidak ada yang menzalimi salah satu pihak.

Apabila Jakarta bisa, maka Jakarta bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya terkait kebijakan tentang minimarket.

Maaf apabila ada kesalahan, semoga murni dari ketidaktahuan saya. Semoga bisa menginspirasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik :D

Thursday, November 10, 2011

Paradigma Pendidikan

Sekedar copas dari website PPSDMS, menginspirasi banget

Paradigma Pendidikan di Negeri Ini
October 5, 2011 By herry
Nurulhuda Halim
Oleh: Nurulhuda Halim

Jika kita membahas pendidikan, tentu kita ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua negara tersebut.

Ada sebuah ungkapan menarik tentang lingkup pendidikan, ”knowledge is power, but character is more”. Inilah yang telah diterapkan di banyak negara maju. Sebagai contoh, untuk sebuah pelajaran seni, Amerika memberikan penilaian yang bersifat afektif yakni good, excellent dan perfect. Mengapa demikian? Itu disebabkan ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada sang murid, yakni menghargai perbedaan persepsi, kreativitas dan kebebasan berekspresi. Lain halnya dengan di negeri ini yang lebih senang menggunakan angka dengan rentang antara 0-100 saat memberikan penilaian. Akibatnya, jika anda meminta satu kelas siswa sekolah untuk menggambar, maka setengahnya akan menggambar dua buah gunung yang mengapit matahari di tengahnya, dan ditambah laut atau sawah. Tidak heran, karena mindset mereka adalah guru mereka akan memberi nilai dari bagusnya gambar, bukan dari kreasi atau inovasi yang bisa mereka hasilkan.

Contoh lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter silahkan mengambil pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia akan diarahkan menjadi engineer, sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan Akuntansi.

Dengan menerapkan sistem pendidikan semacam ini, siswa di Selandia Baru akan belajar sesuai minatnya, dan hasilnya negara kecil ini bisa menjadi penghasil susu dan makanan terbaik di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Siswa SMA di sini “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.

Sebagai perbandingan lain, siswa SMA di Amerika mempelajari teori integral dengan sederhana lalu dilanjutkan dengan pemahaman aplikatif dan studi kasus. Berbeda dengan disini dimana hampir semua teori kalkulus universitas diberikan dan walhasil mereka bisa menyelesaikan berbagai jenis tipe soal namun tidak mengerti bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut selain agar nilai mereka diatas 80.

Dari kasus diatas, dapat kita simpulkan bahwa kesalahan pendidikan di indonesia terletak pada paradigma terhadap pendidikan itu sendiri, terutama oleh pemerintah. Hal ini tercermin pada beberapa hal. Pertama, hampir semua proses pendidikan hanya dinilai oleh angka dan indikator lain yang tidak mampu memandang perkembangan peserta didik. Kedua, proses pendidikan hanya berupa perpindahan materi buku ke otak siswa secara kognitif tanpa memahami esensi dan makna filosofis ilmu tersebut. Selanjutnya, pembentukan pola pikir tetapi melupakan pembangunan karakter dan penanaman nilai sehingga banyak sekali koruptor cerdas di negeri ini. Ketiga, sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak bangsa ini.

Di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di neger ini serta turunan masalahnya. Tidak lain hal ini bertujuan agar nasib bangsa ini lebih baik dan bermartabat.

Oleh: Nurulhuda Halim (Mahasiswa Teknik Metalurgi FTTM ITB 2009)

Thursday, August 4, 2011

Cuti sementara

Wassup! Sori nih cuy, kayaknya gw bakal cuti sementara dari mengupdate post (Ah, bo'ong kan lo? Gak, bener. Karena mulai banyak acara, dan quota internetan gw udah mau abis)

Harap sabar aja, insya Allah gak lama kok cutinya.

Doakan semoga gw bisa berbagi lagi tentang hal-hal lain ya !

Benarkah Semakin Berat, Semakin Hebat?

Tulisan Rhenald Kasali di koran Sindo, 14 Juli 2011

Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.

Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?

Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".

Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.

Ubah Cara Pandang

Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.

Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh, dan kesehatan jiwanya.

Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang, dan waktu agar ia tumbuh . Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya, "beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"

Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.

Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.

Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.

Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?

Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412716/44/